Pengaturan sanksi denda administratif
pajak tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemerintah
menilai memperkarakan Pasal 25 ayat (9) dan pasal 27 ayat (5) huruf d UU
No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 06 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang memuat
sanksi denda administratif tidaklah tepat/relevan.
“Pengaturan sanksi administratif dalam
UU KUP merupakan upaya memaksa agar norma dapat dipatuhi masyarakat
sebagai sarana mewujudkan ketertiban umum,” kata Dirjen Pajak Kemenkeu A
Fuad Rahmany dalam sidang pengujian UU KUP di Gedung MK, Rabu (6/6).
Fuad menegaskan pengaturan sanksi dalam
pasal tersebut bermaksud agar proses upaya hukum berupa keberatan dan
banding atas pajak terutang tidak dijadikan alat untuk menunda pelunasan
pembayaran pajak terutang.
Dengan begitu, wajib pajak akan segera
membayarkan pajak yang belum dibayarkannya, penerimaan negara pun
lancar. “Ini untuk mencegah terganggunya penerimaan negara,” imbuhnya.
Ia pun membantah dalil pemohon yang
menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Sebab, materi dua pasal itu sama sekali tidak membeda-bedakan
wajib pajak dalam pengenaan sanksi administratif.
“Pasal 25 ayat (9) dan pasal 27 ayat (5)
huruf d UU KUP berlaku sama terhadap semua wajib pajak (pribadi, badan,
dalam negeri, luar negeri), sehingga selaras dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Tidak mengandung unsur diskriminasi,” jelasnya.
Selain itu, jika wajib pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda, UU KUP juga mengatur wajib pajak
dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif yang lain yaitu sanksi administratif berupa bunga atau
kenaikan.
Wajib pajak masih diberikan pilihan
dalam rangka memperoleh keadilan yakni mengajukan pengurangan atau
pembatalan atas surat ketetapan pajak.
Di sisi lain salah satu ahli yang
diajukan Pemohon Prof Laica Marzuki mengatakan kebalikannya. Baginya dua
perkara ini jelas memberikan ketidakadilan.
Ia mengatakan apabila seseorang ingin mengajukan keberatan, saat itu pula ia harus membayar denda terlebih dahulu.
"Ketika seseorang diakui sebagai pencari
keadilan,lantas mau banding atau komplain kok justru dikenakan sanksi
administrasi," jelas Laica.
Sanksi yang dibebankan bukan berupa
sanksi pokok tetapi juga sanksi administrasi. Menurutnya, mau mengajukan
keberatan saja sudah dikenai denda 50 persen. UU ini jelas melanggar
keadilan, dan membuat seseorang mengalami ketidakpastian hukum.
Sebelumnya, PT Hutahaean memohon
pengujian Pasal 25 ayat (9) dan pasal 27 ayat (5) huruf d UU KUP.
Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal itu lantaran adanya
sanksi denda administratif di tingkat keberatan 50% dan di tingkat
banding hingga 100 persen.
Aturan itu dianggap telah membatasi
pemohon (wajib pajak) yang bersengketa pajak dengan dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan, yang dibayar sebelum mengajukan gugatan.
Pemohon dapat dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan
putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan. Ditambah lagi dengan bunganya sesuai Pasal
13 ayat (2) UU ini seperti yang dialami pemohon. Aturan itu melanggar
hak kontitusional pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan
kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.[]
0 komentar:
Posting Komentar