Setengah abad lalu Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka kerap
meneriakkan: “Merdeka atau Mati!” Itulah gelora dan semangat revolusi
kaum muda terpelajar. Indonesia dan rakyatnya pun merdeka dan terbebas
dari bekapan kolonialisme.
Di mana-mana, kaum muda terpelajar berpikiran maju, selalu di depan.
Mereka kekuatan perubahan bagi bangsanya. Sebagaimana dicatat sejarah
dengan tinta emas, kaum muda senantiasa terlibat dalam proses membangun
Indonesia dalam figura cita-cita kemerdekaan.
Bahkan dunia jadi saksi, bagaimana mahasiswa kita memadukan tenaga
dan pikirannya untuk gerak perubahan. Kapan perubahan di negeri ini
tidak melibatkan kaum muda? Dalam gerakan 1928, 1945, 1966, hingga 1998
kemarin, kaum muda dan mahasiswa selalu berada di tengah gelanggang.
Masyarakat yang berabad-abad ditindas penjajah, dibebaskan kaum muda.
Rezim korup dan otoriter juga didongkel mereka. Mahasiswa itu pejuang
sekaligus pemikir. Berjuang dengan strategi dan taktik berbasis ilmu
pengetahuan. Komitmen moral dan intelektualnya bukan untuk dijadikan
sekrup kekuasaan yang zalim pada rakyatnya.
Tapi sekarang, bangsa ini sedang gelisah. Ibu pertiwi masih saja
menangis. Cita-cita proklamasi masih jauh panggang dari api. Kenapa?
Benar, kondisi kita hari ini belum dapat disebut “baik”. Kehidupan
politik kita begitu memprihatinkan. Alam kebebasan tercipta berkat
perjuangan mahasiswa, tapi praktik politik kaum elit negara dan parpol
tak lebih dari lakon sinetron yang menggelikan.
Amanat Reformasi 1998 yang memimpikan praktik politik yang
mencerdaskan, fair, dan benar-benar demokratis, dikorupsi politik
pencitraan yang membodohkan bangsa ini. Demokrasi langsung yang
dipraktikkan di daerah-daerah malah melahirkan dinasti politik baru.
Begitu pula kehidupan ekonomi kita. Adakah ke sejahteraan merata bagi
rakyat? Adakah keamanan dan ketentraman telah dirasakan bersama? Juga,
harkat dan wibawa bangsa dan negara kita anjlok di mata bangsa lain.
Martabat begitu terhormat pernah kita sandang di bawah kepemimpinan
sang proklamator, Bung Karno. Tapi sekarang, itu seperti musnah ditelan
tsunami korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Maka, organisasi mahasiswa yang mengusung spirit patrio tisme dan
ideologi Marhaenis me punya tugas khusus; me negakkan kembali martabat
dan wibawa bangsa. Inilah perjuangan kita hari ini.
Tapi itu bukanlah perjuangan sektarian, hanya untuk golongan atau
wilayah tertentu. Perjuangan ini universal, untuk dunia yang lebih baik.
Tak ada lain bagi kita kecuali ambil bagian dalam gerakan perubahan.
Ikhtiar berpikir dan berbuat semata diperuntukkan bagi terbebasnya
Indonesia dari belenggu korupsi dan ketergantungan. Mendorong dan
mempercepat perubahan mentalitas dari inlander dan bermuka dua jadi
manusia berdikari dan sepenuhnya merdeka.
Kaum muda dan mahasiswa tentu bukan dewa penolong atau nabi yang
turun ke bumi. Me lainkan bagian dari sejarah pergerakan nasional, yang
tumbuh bersama gerakan perubahan, hidup-mati bersama zamannya.
Perubahan tentunya tidak terwujud hanya dengan kekuatan mahasiswa
semata. Wajib bagi gerakan mahasiswa patriotik untuk bernaung di bawah
kepemimpinan organisasi yang lebih besar dan mumpuni. Menjadi
tulang-tulang rawan yang melapisi persendian tulang keras kekuatan
perubahan.
Kita berjuang untuk sebuah negara yang lebih baik, menyejahterakan
dan mengayomi warganya. Bukan negara yang bukan lagi milik warganya;
bukan negara yang tidak melindungi warganya; bukan negara yang tak adil
menimbang hukum.[ ]
Sumber: http://www.prioritasnews.com
Sumber: http://www.prioritasnews.com
0 komentar:
Posting Komentar