Headlines News :
Home » » Sultan Menjelma

Sultan Menjelma

Written By T Noval Ariandi on Selasa, 12 Juni 2012 | 03.04

Begitu hujan berhenti yang turun sejak sore hari malam itu, rumah saya  tiba-tiba ada yang mengetuk dari luar. Istri saya tidak berani untuk segera membukanya, takut, karena kondisi keamanan dalam beberapa bulan terakhir sangat tidak nyaman. Jangan-jangan yang mengetuk pintu itu orang tak dikenal. Lalu istri saya memberi tahu: “Pak, sepertinya ada tamu di luar”. “Lho, kok nggak disuruh masuk”. “Saya tidak berani membuka pintunya Pak”, jawab istri saya.
Maka dengan penuh sigap saya menuju pintu depan dan langsung membukanya. Betapa terkejutnya saya ketika  melihat di mulut pintu berdiri seorang laki-laki berkulah kama gagah perkasa. Pakaiannya penuh rumbai-rumbai kebesaran seperti seorang raja. Wajahnya mirip seperti wajah dalam lukisan yang selama ini saya melihat dalam buku-buku sejarah Aceh.
Meski dalam hati saya sudah menduga, bahwa tamu ini pasti seorang Sultan dari kerjaan Aceh masa lalu. Namun untuk memastikan siapa tamu itu, saya pura-pura menanyakan: “Maaf Pak, kalau boleh kami tahu, Bapak siapa?”. Sang tamu langsung menjawab: “Pertanyaan Anda tidak harus saya menjawab di sini, karena, itu melanggar etika budaya Aceh dalam tata cara memuliakan tamu.
Mestinya saya diizinkan dulu masuk ke dalam, biar saya jelaskan tujuan kedatangan saya menemui Anda, dan banyak hal yang harus saya sampaikan pada Anda menyangkut kondisi Aceh hari ini,” jawab sang tamu yang kelihatan malam itu agak sedikit geram dengan pakaian kebesarannya, lengkap dengan selipan sebilah Siwah di pingggangnya.
“Ya, ya Pak, silahkan masuk”.  Sampai di dalam kami duduk di ruang tamu.  Laki-laki yang sedang manjadi tamu saya malam itu terus memparhatikan sebuah lukisan yang terpajang di tengah ruangan. Sesekali tamu melirik ke arah saya seakan ingin memberitahu bahwa lukisan itu adalah lukisan dirinya. “Anda tahu, lukisan siapa yang Anda pajangkan itu? Coba Anda perhatikan baik-baik lukisan yang Anda pajangkan itu dengan diri saya,” kata sang tamu memulai bicaranya.
“Ampuni hamba Daulat Tuanku Seri Sultan Perkasa Alam yang Mulia. Itu memang lukisan diri Sultan yang hamba kagumi.  Hamba mohon maaf atas ketidaksopanan hamba menyambut kedatangan Daulat Tuanku Sultan malam ini”.  “Bukan upacara penyambutan yang menjadi tujuan kedatanganku menemui Anda malam ini. Yang lebih penting untuk Anda tahu, kehadiranku menemui Anda malam ini adalah untuk menjenguk semua anak-cucuku yang hidup di Aceh pada zaman ini, setalah kutinggalkan selama 375 tahun yang lalu. Apakah kalian sebagai pewaris sejarah besar “Nanggoe Aceh” yang telah kuukir empat abad yang silam masih sanggup kalian jaga dan  memeliharanya hingga zaman ini. Itulah tujuanku menjelma menemui Anda malam ini sebagai salah seorang cucuku dari hampir lima juta anak cucuku lainnya yang mendiami Aceh pada zaman ini,” kata Sultan yang seakan tidak memberikan kesempatan pada saya menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi di bekas negeri kerajaannya yang pernah gemilang dulu pada hari ini.
“Untuk Anda ketahui”, sambung Sultan, “saya baru saja habis berkeliling Aceh, untuk melihat keadaan rakyat di bawah pemerintahan Gubernur kalian di zaman ini, apakah tingkat kemakmuran mereka di gampong-gampong sama seperti kemakmuran ketika aku memerintah Aceh empat abad yang lalu. Ternyata, saya sangat kecewa dengan cara kalian memerintahkan Aceh di zaman ini. Hampir semua pranata adat dan nilai-nilai kearifan sosial-budaya Aceh, yang dulunya kubangun dengan susah payah, semua itu kini tinggal kenangan dalam catatan sejarah, karena kalian tidak sanggup memelihara dan menjaganya”.
“Dan yang lebih mebuat saya sangat kecewa pada kalian zaman ini,” lanjud Sultan, “adalah karena di hampir setiap kesempatan kalian bicara  selalu mengungkit-ungkit sejarah kegemilangan pemerentahan kesultananku. Sementara apa yang telah kulakukan dulu dalam membangun Aceh—hingga disegani oleh berbagai bangsa di dunia—tak pernah kalian mau mempelajarinya secara sungguh-sungguh. Kalian memahami sejarahku hanya sepenggal-sepenggal. Yang lebih menyedihkan lagi, ada diantara kalian di zaman ini yang menuduhku sebagai Sultan yang kejam, otoriter, monarchi, dengan simtem pemerintahanku yang feodalistik. Itu akibat dari kalian tidak memahami sejarah kesultananku secara utuh,” ungkap Sultan seperti marah betul pada apa yang sedang dilakukan oleh anak cucunya di Aceh dalam zaman ini.
Malam itu, saya hanya bisa diam atas tumpahan amarah dan kekesalan Sultan yang dialamatkan kepada saya—sebagai salah seorang dari anak cucunya yang hidup dalam zaman ini di Aceh. Sangking kesalnya Sultan malam itu, sehingga saya tidak berani untuk memotong pengbicaraannya yang kelihatan sangat serius. Tatapi yang membuat saya  tak habis pikir, mengapa Sultan harus menumpahkan segala kekesalannya—terhadap kondisi Aceh hari ini pada saya. Bukankah masih banyak anak cucunya yang lain di Aceh sekarang yang hebat-hebat dengan ketokohan dan jabatannya sudah berpangkat tinggi.
“Kalian yang hidup di zaman ini boleh saja menuduhku sebagai seorang Sultan yang kejam, yang memerintah dengan tangan besi menurut analisa sejarah kalian masing-masing. Itu hak kalian dalam menilaiku. Tapi yang harus kalian ketahui, bahwa dalam saya mempinpin Aceh dulu tidak dengan selera politik kepentingan diriku dan kelompok-kelompok diriku  sendiri.  Para Orang Kaya yang dinilai sangat berperan dalam memainkan politik “menaikkan dan menjatuhkan seorang Sultan di kerajaan Aceh dulu.  Di masa Kesultananku meraka kujadikan sebagai mitra dari bagian kerajaan dalam mendukung berbagai program pembangunan kala itu. Hal itu bisa kalian pelajari  bagaimana aku menyusun Undang-Undang Kerajaan Aceh dulu,  yang kalian kenal sekarang dengan “Qanun Meukuta Alam” atau “Qanun Al-Asyi”.  Dalam Qanun itu—sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh—semua aturan yang kubuat tidak ada satu pasal pun  pihak yang dirugukan. Kalau kalian tidak percaya, buka kembali “Qanun Al-Asyi” dan pelajari dengan sebaik-baiknya, agar kalian tahu bagaimana besarnya tanggung jawab seorang pemimpin”, kata Sultan.
“Satu hal lagi yang perlu kalian ketahui”, Sultan melanjutkan, “saya memerintah Aceh dulu mungkin lebih demokratis dari demokrasi yang kalian gembar-gemborkan di zaman ini. Memang tidak banyak diantara kalian yang mengetahui, kalau sistem pemerintahan kerajaan Aceh yang kubangun di masa Kusultananku dulu adalah sistem pemerintahan Federal.  Semua Uleebalang yang kuangkat kuberikan hak penuh untuk menguasai dan mengatur wilayahnya masing-masing. Kecuali  wilayah-wilayah tertentu yang tidak memiliki Uleebalang, di wilayah itu kuangkat seorang Wali Nanggroe sebagai perpanjangan tanganku sebagai Sultan untuk mempin rakyat di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kerajaan. Jadi,  Wali Nanggroe yang ingin kalian bentuk di Aceh sekarang jangan kalian kaitkan dengan sejarahku. Sebab, dalam struktur Kesultananku dulu, Wali Nanggroe adalah penguasa wilayah terkecil, atau penanggung jawab untuk daerah-daerah taklukkan kerajaan Aceh”, ungkap Sultan, seraya menjelaskan lagi bahwa berdasarkan Undang-Undang “Qanun Meukuta Alam” para Uleebalang yang memerintah wilayahnya masing-masing diwajibkan membayar upeti (pajak) kepada kerajaan, termasuk wilayah yang dipimpin oleh Wali Nanggroe.
“Apakah sistim kepemerintahanku  seperti itu bukan pemerintahan  yang demokratis,” Sultan mempertanyakan sistem pemerentahannya yang sering dituduh oleh sebagian sejarawan sebagai sosok Sultan yang kejam dan otoriter.  Karena itu Sultan mengingatkan: “Kalain jangan mudah terpengaruh dengan apa yang ditulis Augustin De Beaulieu dalam catatannya (1621) tentang diriku dalam memerintah Aceh saat itu (baca Sumatera Tempo Doeloe: 2010). De Bealieu adalah seorang utusan perdangaan Prancis yang kecewa dengan Kesultanan Aceh masa pemerentahanku, karena Aku tidak memau menerimanya untuk sebuah gegosiasi perizinan perdagangan Prencis di Aceh. Aku baru menerima Bealieu setelah enam bulan kemudian untuk sebuah perizinan perdagangan Prancis di Aceh, itu pun dengan aturan yang sangat ketat kuberlakukan sesuai Undang-Undang perdagangan asing di kerajaan Aceh. Itu sebabnya, selama enam bulan Augustin De Bealieu tinggal di Aceh, sambil menunggu perizinan dariku sebagai Sultan Aceh saat itu, Bealieu telah menulis banyak tentang Kesultananku di Aceh sebagai Sultan yang kejam,” begitu Sultan menceritakan ikhwal sejarahnya.
Saya sendiri malam itu memang nyaris menjadi pendengar setia apa yang disampaikan Sultan. Sampai beliau menjelaskan, kenapa di masa Kesultanannya ia tidak mau menerima Syeh Nuruddin Ar-Raniry (seorang ulama dari Ranir India) untuk bergabung dalam kerajaan Aceh. “Karena sudah kuperkirakan, bila ulama itu  kuizinkan menetap dan berperan di kerajaan Aceh, kehidupan keberagamaan rakyat di Aceh saat itu akan menjadi kacau. Dan itu terbukti setelah kemangkatanku, Nuruddin Ar-Raniry kembali datang ke Aceh mempengaruhi menantuku Sultan Iskandar Stani, sehingga ulama dari Ranir India itu berhasil berperan di kerajaan Aceh, hingga membuat kekacauan kehidupan beragama di Aceh, yang sebelumnya telah kubangun dengan tenang berdasarkan empat mazhab. Tapi apa yang terjadi kemudian, kitab-kitab ilmu pengetahuan keagamaan yang kubiayai penulisannya pada para ulama di masaku, semua kitab-kitab  habis dibakar atas suruhan fatwa Syeh Ar-Raniry. Hanya sedikit yang tersisa buat kalian pelajari  di zaman ini.  Karenanya, kalian sebagai anak cucuku yang hidup di zaman ini  tak bisa lagi memahami sejarah Kesultananku secara lengkap, karena sumber kitab-kitabnya  telah musnah dibakar semasa Syeh Nuruddin Ar-Raniry. Itu yang sangat kusesalkan”, keluh Sultan.
“Itu semua memang masa lalu yang mungkin kalian anggap tidak penting lagi di zaman ini. Tapi sesungguhnya, itulah pelajaran sejarah yang harus kalian  petik dari sejarahku untuk menjadi spirit dalam kalian membangun Aceh sekarang ini. Dan kehadiranku menemui Anda malam ini—sebagai salah seorang dari empat juta lebih cucuku yang mendiami Aceh saat ini—adalah untuk mengamanahkan, Aceh saat ini butuh seorang pemimpin yang cerdas, tegas, dan berwibawa, dengan  integritas pemahaman keagamaan intelektual yang tinggi. Bukan pemimpin yang mengubar janji, yang memperkaya diri dengan kepemimpinannya. Maka Pilkada yang akan kalian sukseskan dalam tahun ini di Aceh, tak akan ada artinya bila kalian tidak menemukan sosok pemimpin yang seperti itu. Sampaikan amanahku ini pada semua anak cucuku lainnya yang tidak sempat kudatangi satu persatu di seluruh Aceh, agar mereka sadar untuk tidak lagi salah memilih pemimpinnya dalam Pilkada  Aceh tahun ini. Hanya itu pesanku,” kata Sultan mengakhiri bicaranya.
Semua yang dibilang Sultan malam itu baru saya sadari setelah istri saya membangunkan saya persis pada pukul tiga dini hari. “Bapak menggigau apa sih, dari tadi kedengerannya kok Sultan-Sultan terus?”, tanya istri saya. “Aduh, saya baru  saja habis bermimpi ditatangi Sultan dari kerajaan Aceh”. “Makanya Pak, kalau mau tidur jangan lupa ngucap, biar tidak diganggu setan”.*

Penulis, Budayawan, Pemerhati Sejarah, tinggal di Banda Aceh.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Internasional

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Search This Blog

 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011. NewsKu - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger